Kamis, 08 Januari 2009

Cala Ibi Nukila Amal

download doc

TOKOH KEMBAR MAYA DAN MAIA DALAM CALA IBI NUKILA AMAL: SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

A. Pendahuluan

Novel Cala Ibi sebagai novel anyar merupakan terobosan baru yang mutlak harus dicatat dalam khazanah sastra kita. Novel Cala Ibi karya Nukila Amal, menyeruak dan menggetarkan sastra Indonesia. Cala Ibi telah menyumbangkan warna baru dalam jagad sastra kita dan memiliki peluang besar untuk hadir sebagai karya sastra besar yang abadi dan universal. Sebuah koreografi kata yang tangkas, indah, bernas dengan kalimat-kalimat yang menjelma menjadi rangkaian aforisma. Cala Ibi mengeksplorasi hakikat nama, peristiwa dan cerita, maya dan nyata, diri dan ilusi, tapi juga memperkarakan kodrat kata dan bahasa itu sendiri.

Seorang ahli filsafat dan seorang ahli sastra. Keduanya dipertemukan oleh novel Cala Ibi. Ada pengalaman surealistik antara mimpi dan kenyataan yang keluar masuk. Novel ini mengisahkan tentang tokoh Maya, seorang gadis yang bertemu dengan dirinya yang lain bernama Maia, pertemuan dengan naga bernama Cala Ibi, sosok bernama Ujung dan Tepi. Dari tokoh-tokoh inilah banyak pergumulan antara maskulinitas dan feminitas, mondar-mandirnya dunia nyata dan mimpi, rasio dan hati, kata dan rasa, keteraturan dan ketakteraturan, dan seterusnya.

Buku ini digambarkan pada halaman 117 "titik-titik suspensi, penuh sugesti. Tanpa tepi, tak penuh terisi, cuma menggantung di udara, ambiguitas yang tak tuntas. Penghabis kalimat yang belum benar-benar habis"

Novel ini juga memuat kesan karnaval, nokturnal, verbal. Karnaval mengindikasikan suatu keadaan yang ramai, sementara nokturnal berkaitan dengan malam yang memiliki dua macam keadaan. Malam sering diisi dengan kegiatan yang gila-gilaan, dugem (dunia gembira) misalnya. Tapi di satu sisi juga puitis karena malam mengindikasikan sesuatu yang biasanya romantis.

Dalam Cala Ibi, Nukila seperti tak membiarkan pembaca terhanyut. Ini karena seringnya ia mengomentari dan menegasi kalimat atau cerita sebelumnya.

Adanya penelitian psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setangah sadar (subconcious), dan setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai proses imajinatif pengarang. Di samping itu, perwatakan tokoh secara psikologis juga termasuk dalam pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya sastra.

Dalam pengkajian psikologi sastra ini, kemungkinan saya akan menggunakan beberapa pendekatan. Sebagian menggunakan pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Sebagian lagi menggunakan pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang pengarang, yakni Nukila Amal ketika melakukan proses kreatif yang teproyeksi lewat karyanya, baik pengarang sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya.

Psikologi sastra dari aspek tekstual, pada awalnya memang tak bisa lepas dari prinsip-prinsip Freud tentang psikologi dalam. Buku Freud tentang interpretasi mimpi telah banyak mengilhami para peneliti psikologi teks. Hendaknya dalam meneliti psikologi sastra, para peneliti mampu menggali sistem berpikir, logika, angan-angan, dan cita-cita hidup yang ekspresif. Perasaan takut, phobi, was-was, histeris, aman dan sebagainya juga menjadi objek kajian psikologi sastra yang pelik. Terlebih jika teks sastra sudah mulai membicarakan tentang (yang disebut oleh Freud) illution. Karena hal tersebut sulit dikendalikan dan dikontrol, sehingga peneliti sering mengalami kebingungan. Sangat sulit membedakan antara illution dengan mimpi. Selain menggunakan teori Freud yang masih sedikit berkaitan dengan teori dasarnya (berhubungan dengan sensibilitas), saya juga menggunakan teori Jung. Karena dari beberapa tokoh psikologi kepribadian, seperti Willard Allport, William Sheldon, Burrhus Frederic Skinner, Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Erich Fromm, Ransom Rogers, Victor E. Frankl, dan Abraham Harold Maslow, hanya Freud dan Junglah yang memiliki teori tentang mimpi (Dream Analysisi).

Sebagai gambaran, mula-mula penulis akan mengungkap apakah teks sastra, melalui pelaku-pelakunya dapat merefleksikan unsur-unsur psikologi atau tidak. Dari situlah mungkin akan muncul hal-hal yang menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam teks sastra. Namun, tidak terpaku pada kajian narasi dalam substansi tokoh saja, melainkan perlu mencermati apakah kajian tersebut berhubungan dengan realitas atau tidak.

B. Deskripsi Cala Ibi

Novel Cala Ibi berkisah tentang satu tokoh dalam dunia yang berbeda. Yakni Maya dan Maia. Saat pagi telah menjelma, maka ia bernama Maya, memulai kesibukan layaknya wanita karier di Jakarta. Namun, bila malam telah tiba, namanya bukan lagi Maya, melainkan Maia. Dalam malam-malam itulah Maia dibawa sang naga bernama Cala Ibi menembus batas ruang dan waktu, mengarungi lautan mimpi yang tak bertepi. Di dalam mimpinya, ia pernah berada pada suatu tempat entah abad berapa di tanah leluhurnya, Maluku, Maia melihat terang yang paling nyalang. Ada dukun perempuan bernama Bai Guna Tobana yang namanya pernah menjadi sejarah di pulau itu. Maia juga melihat peristiwa dan hal lain yang pernah menjadi sejarah di pulau itu. Sejak para penjajah memperebutkan rempah-rempah di sana, hingga peristiwa masuknya agama Islam ke pulau tersebut. Demikianlah Maia mengarungi dunianya dengan Cala Ibi. Dengan petualangan yang tak pernah berakhir, bahkan dengan berakhirnya novel ini sekalipun, Maia kemudian bertemu dengan sosok-sosok misterius lain seperti Ujung dan Tepi yang kemudian melahirkan tangisan seorang bayi dari sebuah persetubuhan yang singkat, dalam kabut pekat.

C. Kajian Psikologis dalam Cala Ibi

Nukila Amal sebagai penulis baru yang langsung mendobrak dunia sastra dengan Cala Ibinya, datang menyenandungkan irama lain yang teramat indah, namun acapkali dianggap tidak penting, yaitu mimpi. Dalam usaha menyibak rahasia ketidaksadaran manusia, Freud menggunakan teknik analisis mimpi. Ia mencoba menganalisis dan menginterpretasikan simbol-simbol yang terkandung dalam mimpi-mimpi pasiennya, sebuah usaha menemukan makna laten dalam hidup manusia. Dalam Cala Ibi, sebagian besar yang tertulis adalah kisah-kisah mengenai mimpi. Mimpi seorang tokoh bernama Maya, yang mengalami permasalahan dalam keluarganya, antara ia, ayah dan ibunya. Maya merasa menjadi satu-satunya perempuan berkedudukan penting. Ada keengganan dan sungkan menyebut prestasinya sebagai kesuksesan. Orang tuanya tak menganggap prestasinya sebagai kebanggaan dan justru mengejarnya dengan harapan agar lekas menikah, memperoleh momongan.

Maya sebagai seorang pribadi yang sering mengalami mimpi bisa jadi memiliki apa yang dikatakan Jung sebagai sisi gelap (Shadow). Shadow mengandung dua aspek primer : satu berhubungan dengan ketidaksadaran ersonal, dan yang lain dengan ketidaksadaran kolektif. Jung percaya, terkadang Shadow bekerja sama dengan insting seksual (Freudian) dan kehendak untuk berkuasa (Adlerian). Shadow juga memiliki sisi positif di samping sisi negatif. Maia seolah menjadi shadow dari diri Maya yang nyata. Maia menjadi Shadow positif dari pribadi Maya. Dalam kenyataan, secara implisit, Maya merasa punya ego yang tinggi untuk menolak pertunangan, pernikahan dan anak. Sedangkan dalam mimpinya, Maia memiliki kebalikan karakter yang positif dari sikap Maya. Maya memiliki keinginan untuk menikah, dan mempunyai anak. Ini terlihat dari mimpinya pada halaman Ilalang dan Mengibu-Anak. Berikut kutipannya:

"Pemandangan seorang ibu menyusui bayinya. Tiba-tiba kau rasa, bahwa hal itu bukanlah sebuah pemandangan biasa yang telah sering kau lihat di mana-mana. Malam itu tampak di luar yang biasa. Kau berdiri mematung menatap pemandangan di depanmu. Terkesima."

D. Mengkaji Cala Ibi dengan Teori mimpi Sighmund Freud

Dalam psikoanalisis, teknik analisis mimpi digunakan Freud untuk menyibak rahasia ketidaksadaran pasien. Tugas Freud adalah menganalisis dan menginterpretasikan simbol-simbol yang terkandung dalam mimpi-mimpi pasiennya sebagai sebuah usaha untuk menemukan makna laten. Makna laten itu sendiri berarti suatu makna tersembunyi, tidak nampak, tapi memiliki potensi untuk muncul. Dari berbagai pengalaman klinis, Freud yakin bahwa simbol-simbol tersebut memiliki makna universal. Tongkat, ular, pohon, misalnya, menyimbolkan penis. Kotak, pintu, lemari kayu, adalah representasi vagina. Di samping makna universal tersebut, Freud juga percaya bahwa simbol-simbol tersebut harus dipertimbangkan dan diinterpretasikan dalam konflik unik individu. Simbol-simbol yang memiliki makna ganda inilah yang membuat analisis menjadi sulit. Jika mencoba menganalisis simbol-simbol dalam mimpi Maya, maka akan ditemukan banyak sekali simbol yang dapat diterjemahkan, seperti sang naga, mutiara Laila, jatuh, kota kata-kata, tuan tanah, kamar kuning, penjara merah, dan pertemuan dengan Ujung dan Tepi. Simbol-simbol dan peristiwa dalam mimpi Maya tentu memiliki makna laten yang dimaksudkan oleh Freud. Mungkin sang Naga bisa bermakna sebuah keberanian. Naga memang tidak ada dalam dunia nyata, tetapi dalam kepercayaan orang Tionghoa dianggap sebagai mahluk yang kuat, besar, identik dengan api, dapat terbang, dan memiliki sifat pelindung. Maya sebagai seorang gadis yang menolak untuk segera menikah, tidak memberontak dengan cara yang kasar. Kesabarannya yang tanpa pemberontakan justru menjadi kekuatan sejati seorang perempuan. Karena kekuatan perempuan justru berada pada kelemahannya. Dalam mimpinya mengenai jatuh, Maia tentu mengalami puncak pengalaman psikologi yang begitu membuat jantungnya berdebar-debar. Bersatunya antara rasa takut, pasrah, dan kosong. Bahkan dalam kekosongan itu Maia sempat berpikiran yang tidak-tidak dan berimajinasi sepuas hati. Jadi, mimpi adalah tempat meluapkan semua imajinasi. Maya menciptakan dunianya sendiri. Dan kenyataan menjadi referensi dunia mimpinya. Dalam Mutiara Laila, Laila beberapa kali mengajak Maia beriteraksi. Beberapa kali Laila mengacaukan barang-barangnya, tapi Maia tak bisa berbuat apa-apa. Hal itu menunjukkan bahwa Maya memiliki ketakutan dan ketidaksiapan memiliki anak. Ketakutan dan ketidaksiapan itu makin membesar ketika tekanan-tekanan dari kedua orang tuanya muncul.

Dalam Cala Ibi Maya mendeskripsikan mimpi itu sendiri. Baginya, "Dalam mimpi, apa-apa dan siapa-siapa, adalah bukan apa adanya, tapi sebuah ujaran, penyampaian, pengingatan, peringatan, rekaman, perjalanan kehidupan, kenyataan...dunia itu indah, tak nyata, di luar segala...tuturan bahasanya lembut, berlapis, manis, liris—seperti perempuan, seperti puisi,..." (halaman 12). Jika dikaitkan dengan pengertian di atas, maka mimpi-mimpi Maya merupakan sebuah ujaran dari representasi kehidupannya; penyampaian pesan-pesan tersirat, pengingatan bahwa ia sudah dewasa dan sudah layak menikah; peringatan bahwa sebagai seorang perempuan tidak sepantasnya menolak pernikahan dan menjadi perawan tua; rekaman masa lalunya; perjalanan kehidupannya dari kecil hingga dewasa; terkadang menyembunyikan dan menunjukkan kenyataan, dan sebagainya.

Dalam pandangan Freud, mimpi merupakan usaha yang samar dalam mewujudkan suatu harapan. Dalam kehidupan nyata, Maya merasa memiliki masalah dengan keinginan kedua orang tuanya, dengan cerita-cerita dari bibinya mengenai sebuah pernikahan. Dari situ Maya merasa kehilangan sebagian harapannya untuk bisa hidup bebas (dalam artian tidak terkekang oleh seorang lelaki) dalam hidupnya. Ia juga merasa kehilangan sesuatu dari kedua orang tuanya, memberi jarak antara ia dan orang tuanya. Perasaan kehilangan tersebut pernah muncul dalam salah mimpinya.

"Ia yang pernah begitu sempurna waktu kecil dulu. Teman, pahlawan, lutut dan dadanya tumpuan tangisan. Kau rasakan kehilangan itu (dan firasat aneh muncul tiba-tiba: ia akan terluka, karena sebuah dosa-dosanya ataukah dosamu, kau tak tahu). Kau telah besar kini, dirinya menghilang ketika kau berangkat dewasa, dirinya menjelma harapan keinginan beban kewajiban,..." Maka mimpi seperti menjadi alternatif untuk memunculkan harapan kembali. Maya berharap ibunya bisa mengerti dirinya, bahwa ia belum ingin menikah. Menurut Freud, harapan-harapan tersebut merupakan motif tak sadar yang tidak dapat diterima individu, atau pada hakikatnya bersifat erotik. Sebagai contoh untuk bagian ini, dalam mimpi Maia melihat dan mengetahui sejarah beranak-pinaknya Bai Guna Tobona hingga menjadi Maluku seperti sekarang ini. Ia menyaksikan bersetubuhnya seorang wanita dan seorang lelaki dengan penggambaran sebagai berikut:

"Satu perempuan bersetubuh dengan lelaki. Lelaki memasuki, lelaki merasuki. Satuperempuan merasa dirinya bagai terbelah, tapi terasa indah. Dan tiba-tiba ia telah setengah, merasai betapa saat itu dirinya terindah. Ditatapnya wujud diri baru yang tampak aneh itu (tubuh ini, tubuhnya, tubuhku). Keadaan utuh, luruh tubuh, dua yang satu, satu yang setengah, keutuhan setelah terbelah, luruh yang mengutuh. Seluruh. Setubuh. Keutuhan itu. Sempurna."

Sewaktu tidur, impuls-impuls ini mencari ekspresi tetapi selalu mengalami sensor. Akibatnya, impuls tersebut mencari ekspresi tak langsung (melalui displacement) dengan bentuk-bentuk simbol bersifat samar, seperti yang termanifestasikan dalam mimpi-mimpi. Selain contoh di atas, Maia juga mengalami satu kejadian dalam mimpinya yang mirip dengan apa yang dialami oleh Bai Guna Tobona. Maia bertemu dengan seorang lelaki yang mendekat padanya, saling berkata-kata. Lelaki yang seolah dapat membaca hasrat di dalam hatinya. Ini berkaitan dengan apa yang dikatakan Freud, bahwa harapan dalam mimpi merupakan motif tak sadar yang tidak dapat diterima individu, atau pada hakikatnya bersifat erotik. Berikut kutipannya:

"Suatu saat di atas tanah, tak jauh dari serakan cengkih yang jatuh dari bajumu, ia bangkit melepas mani (mengangankan, kelak kau dan dia saling mengusaikan, usai penuh seluruh...mengangankan, tanah bumi akan jadirahim untuk melahirkan fosil bayi kecil, mineral tak berbentuk yang jelita, bermimpi jadi daging dalam tanah gulita)."

Beberapa mimpi Maya memang bersifat agak erotis. Menyentuh sisi keperempuanannya. Sisi-sisi femininnya nampak pada mimpi-mimpi mengenai Penjara Merah, yang menggambarkan ketakutan-ketakutan Maia atas apa yang terjadi ada peremuan-perempuan eneh yang ada di penjara itu.

E. Mengkaji Cala Ibi dengan Teori mimpi Carl Gustav Jung

Lain halnya dalam pandangan Jung, mimpi merupakan ledakan spontan dari materi yang direpresikan dalam ketidaksadaran personal dan kolektif. Manifestasi yang terepresi itu, menurut Jung, sebenarnya tidak selalu berupa usaha pemahaman kebutuhan seksual atau agresif, seperti dikonsepsikan Freud. Sebagai gantinya, Jung mengartikan mimpi sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah dan konflik yang dihadapi seseorang pada masa sekarang dan memiliki makna bagi perkembangan mereka ke arah yang sehat. Maya dengan masalah-masalah yang ia hadapi, berupa tekanan-tekanan psikologi dari kedua orang tuanya yang terus mempertanyakan mengapa ia memutuskan pertunangan yang ada; dan sikap-sikap yang seolah-olah terus memaksanya untuk mencari jodoh, membuat dirinya yang lain (yakni Maia) untuk mencari pemecahan atau sekedar harapan dalam mimpinya.

Jung mengatakan bahwa mimpi merupakan kompensasi dalam kehidupan. Jika dalam kehidupan nyata Maya ialah seorang gadis yang memiliki masalah dengan keinginan kedua orang tuanya, maka dalam mimpi pun muncul Maia dengan tekanan-tekanan psikologis yang sama. Maia dengan sifat yang tidak jauh berbeda dengan aslinya. Maia berusaha menyesuaikan diri dan kepribadian Maya. Orang yang sangat pemalu, misalnya, bisa bermimpi bahwa mereka dikagumi dalam pesta. Dalam analisis mimpinya, Jung menggunakan beberapa cara:

1. Metode amplifikasi (Method of Amplification)

Seperti asosiasi bebas yang dimulai dengan simbol tertentu dan bergerak lebih jauh, Jung menggunakan metode amplifikasi untuk menganalisis konflik dan problema yang dihadapi pasiennya. Dalam proses, makna ganda dari simbol menjadi jelas ketika pasien mengalami insight dengan problema yang mereka hadapi. Seringkali asosiasi pasien dimulai dengan arah yang ditentukan oleh analis. Analis mencoba melihat satu serial mimpi pasiennya. Jung percaya bahwa analisis satu seri mimpi itu penting karena dapat menginterpretasikan problem dan konflik pasien dengan lebih akurat. Jung juga melihat bahwa mimpi-mimpi seseorang sepanjang hidup merupakan gambaran proses individuasi. Sebagai contoh penggunaan metode ini, secara sederhana dapat diketahui dari mimpinya bahwa konflik atau problem yang dihadapi Maya, salah satunya adalah perihal jodoh.

2. Tes Asosiasi Kata (Word-Association Test)

Jung adalah pelopor teknik eksperimental yang disebut dengan tes asosiasi kata. Dia menggunakannya sebagai tes analisis mimpi. Prosedur terapi ini melibatkan pasien dalam merespon stimulus kata dengan kata-kata apapun yang terjadi padanya. Jung mencatat tenggang waktu antara presentasi inisial stimuli dan respon yang diberikan pasien, serta penggunaan waktu laten sebagai indikator kemungkinan pertahanan dan konflik dalam diri pasien. Asumsinya adalah bahwa dalam interval waktu yang lebih panjang, maka lebih besar pula wilayah konflik dalam psike yang ditarik. Besar tidaknya wilayah konflik individu diketahui karena kondisi-kondisi berikut:

a) Pasien mengulang stimulus kata beberapa kali seolah dia tidak mendengarnya.

b) Mereka salah mendengar satu atau beberapa kata

c) Mereka memberi respon lebih dari satu kata

d) Mereka memberi reaksi tidak bermakna

e) Mereka gagal merespon semuanya.

Kegagalan merespon kata-kata juga mencerminkan konflik tersembunyi.

3. Terapi Lukisan

Teknik lain yang digunakan Jung dalam menganalisis mimpi adalah terapi lukisan. Jung mendorong pasien untuk mengekspresikan perasaan atau pemikiran yang tidak disadari dalam lukisan. Terapi dengan cara melukis menolong pasien memperjelas simbol yang mereka lihat dalam mimpi dan mendorong pasien untuk menyelesaikan masalahnya secara aktif. Dalam pandangan Jung, terapi lukisan memiliki efek terapis yang real. Cara tersebut dapat menggerakkan pasien dari pusat kematian menuju ke arah realisasi diri.

Dari ketiga terapi yang dipaparkan oleh Carl Gustav Jung, yang paling tepat dan diterapkan serta dimanfaatkan oleh Maya adalah asosiasi kata. Ia tidak menyembunyikan mimpinya. Malah menuliskannya pada sebuah buku tertentu, yang khusus dibuat untuk mencatat mimpi-mimpi yang pernah dialaminya. Ia berusaha mengingat baik tiap kata, kalimat yang diucapkan tokoh-tokoh dalam mimpinya, ataupun peristiwa dalam mimpinya. Dengan demikian, konflik yang dialami Maya tidak tersembunyi.




1 comments:

Anonim mengatakan...

novel nya beli dimana?blh kasih lihat g

Posting Komentar

 

  © 2009 Supaat I Lathief

Think Of Logic Blogger Template by Supaat I Lathief