--> Read more...
Senin, 25 Januari 2010
Rabu, 20 Januari 2010
..:: SASTRA: Eksistensialisme-Mistisisme Religius ::..
Sastra, Filsafat, dan Pernik Kehidupan
Oleh: Sutardi, S.S., M.Pd.*
Karya sastra merupakan hasil kesadaran kejiwaan masyarakat, sebagai sejarah mentalitas, sebagai cermin masyarakat, dokumen sosial budaya, serta sebagai sistem pemikiran, sistem pengetahuan yang dihadirkan pengarang dalam menangkap, memandang, dan memahami sebuah realitas. Keberadaan realitas di mata seorang pengarang diolah, diinternalisasi dan ditransendensikan melalui penjelajahan secara mendalam ke dalam wilayah pemikiran dan perasaan.
Sebagai sejarah mentalitas, karya sastra dapat merupakan wujud renungan atas realitas, wujud pandangan kritis atas realitas, dan wujud pikiran alternatif atas realitas. Obyek karya sastra adalah realitas, apapun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Sastrawan menerjemahkan realitas tersebut dengan bahasa imajiner dalam bentuk karya sastra bisa berbentuk puisi, cerpen maupun novel. Sehingga karya sastra yang ditulis sastrawan merupakan wujud, bentuk, dan cara ia membicarakan atau membahasahan realitas ke dalam realitas satra. Dalam perspektif Michel Foucault, karya sastra merupakan wacana yang menghadirkan sebuah episteme tertentu ke dalam wacana karya sastra.
Dalam buku The Archeology of Knowledge (1972) atau Arkeologi Pengetahuan (2002), Michel Foucault memberikan sebuah rumusan tafsir arkeologis terhadap karya sastra pada dua konsep pokok: episteme atau sistem pengetahuan (pemikiran) dan wacana. Episteme adalah cara manusia menangkap, memandang, dan memahami realitas. Episteme tersebut mengandung pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, cara-cara pendekatan tertentu ataupun apriori historis tertentu. Dengan perkataan lain, episteme bermaksud memberikan kerangka, bahkan mendasari wacana. Sedangkan wacana adalah cara manusia mengatakan, membahasakan atau membicarakan realitas.
Sebagai sebuah pendekatan, konsep wacana (discourse) melihat realitas sosial sebagai arena diskursif (discursive field) diberi makna melalui cara yang khas (Rahardjo, 2002: 1997). Dalam wacana inilah pusat kegiatan (kreativitas) manusia. Episteme dan wacana tunduk pada berbagai aturan, yang menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari realitas sosial serta proses kehidupan sosial. Dengan kata lain, setiap zaman memandang, memahami, dan membicarakan realitas dengan cara lain; hal ini berarti bahwa setiap zaman menciptakan dan memiliki episteme dan wacana berbeda. Jadi arkeologi pengetahuan Foucault dapat dipergunakan dalam memahami berbagai fenomena sosial, budaya, politik, agama, termasuk karya sastra, baik secara diakronis (paradigmatis) maupun sinkronis (sintagmatis).
Sebagai bagian kesadaran intelektual masyarakatnya, karya sastra tak pernah terlepas dari sistem sosial budaya yang melingkupinya. Oleh karena itu, karya sastra bisa merupakan gambaran yang melukiskan realitas sosial tanpa harus menyatakan sikap terhadap sistem sosial; merupakan analisis sosial yang menyiasati berbagai perubahan masyarakat dengan menyatakan pendapatnya secara sadar; serta dapat menyuguhkan filsafat yang memberikan landasan penilaian tentang apa yang sedang terjadi dengan cara melakukan analisis penuh perlawanan terhadap kondisi masyarakatnya.
Pada tahun 1970-an muncul tradisi antiintelektualisme dalam sastra
Ketidakpercayaan pada realitas itu dapat timbul oleh berbagai sebab (Kuntowijoyo: 1987). Pertama, mungkin pengarang merasakan adanya anomie dalam masyarakat ketika sistem sosial dan sistem nilai tidak lagi koheren. Kedua, pengarang mewakili sentimen dari anggota masyarakat yang terasingkan dalam proses teknologisasi, gejala yang tidak terlalu sulit untuk dicari. Munculnya Dadaisme di Eropa pada kurun setelah Perang Dunia Pertama ketika orang sangsi akan kebenaran rasionalisme, dengan sastra Amerika dalam dasawarsa 1960-an, dasawarsa yang penuh dengan apa yang oleh Daniel Bell disebut sebagai ‘kontradiksi masyarakat kapitalis’ dengan counter-culture-nya.
Tulisan ini merupakan bagian kecil tafsiran terhadap karya sastra antiintelektualisme: eksistensialisme dan mistisisme-religius. Hampir seluruh bahasan dalam tulisan ini menggunakan penghampiran tersebut dalam usaha memahami sebuah wacana sastra, seperti tampak pada pembahasan karya penulis terkenal Nietzsche, Franz Kaffka, Sartre, Camus, Elliot, Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Al-Hallaj, Muhammad Iqbal, Umar Khayam dan masih banyak lagi. Dalam khazanah sastra kontemporer Indonesia pun dibahas karya-karya monumental Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya, Budi Darma, Abdul Hadi WM, Sutardji CB, D. Zawawi Imron, Hamid Jabar, Arifin C. Noer, Sapardi Djoko Damono, taufik Ismail, Chairil Anwar, A. Musthofa Bisri dan lain-lain. Semua itu dilakukan dalam kerangka pemahaman sebuah episteme dan wacana karya sastra.
Relasional sastra antara episteme dan wacana selalu dikedepankan dalam menganalisis sebuah karya sastra. Bagaimana konsepsi tentang dunia, manusia, alam semesta, agama hingga mistisisme. Diawali dari gerakan eksistensialime sebagai budaya maupun filsafat, pengaruh eksistensialisme terhadap tumbuhnya karya sastra terhimpun pada bagian pertama buku ini. Bagian kedua tulisan ini berbicara tentang pernik-pernik kehidupan dan kritik sosial. Dengan sastra, manusia lebih detail melihat kehidupan sosial. Sedangkan pada bagian ketiga menyibak mistisisme serta religiusitas sastra (religiusitas Islam) berkait erat pada kenyataan sosial, realitas kehidupan masyarakat modern, karena episteme Islam adalah integralistik. Semua kenyataan berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Atau dengan gambaran yang lebih linier daripada siklis, dapat dikatakan bahwa segala kenyataan berpangkal pada Tuhan dan berujung pada Tuhan. Semua kenyataan itu terkait dengan konsep tentang keesaan Tuhan (tauhid). Islam sebagai agama yang universal dari segi ruang dan abadi dari segi waktu terkait dengan kenyataan sehari-hari yang khusus, ada continuum yang tak terputus antara keesaan Tuhan dan kenyataan. Itulah Islam yang otentik (QS Yusuf: 40; Ar-Rum: 30).
Klasifikasi tema terhadap berbagai tulisan, yang pernah tersebar di berbagai
Sebuah tulisan tidak lahir begitu saja, seperti halnya seluruh tulisan dalam buku ini terlahir dari sebuah kegiatan intelektual, sebuah diskusi intensif dalam lingkaran Studi Sastra, Filsafat, Agama dan Pembangunan di Malang Jawa Timur. Selamat menikmati!
..:: DELUSI ::..
Ketika sastra
“Kembali ke akar, kembali ke tradisi,” sesungguhnya merupakan seruan kesadaran kultural yang coba mengingatkan tentang kekayaan tradisi budaya
Novel Delusi karya Supaat I. Lathief ini, coba menggali, mengungkap, dan menawarkan persoalan etnisitas itu dalam kemasan sebuah kisah nostalgia: tentang potret anak desa, sistem kepercayaan, dan segala aspek yang hidup dalam ingatan kolektif masyarakat pedesaan di Jawa. Di
Maman S Mahayana